Jumat, 14 November 2008

Indonesia merupakan negeri kaya dengan hutannya yang luas, tanahnya yang subur masih ditambah dengan kandungan barang tambang nan melimpah, belum lagi kekayaan lautnya yang luar biasa besar ternyata berbaris bersama deretan negara-negara miskin di dunia. GNP perkapitanya hanya berada sedikit diatas Zimbabwe (sebuah negeri miskin dikawasan Afrika). Hutang luar negerinya terhitung Rp 742 triliun (Forum, 5 Maret 2002). Dari sini tampaklah bahwa beban perbaikan ekonomi kedepan akan sangat berat. Selain harus membayar cicilan hutang, juga harus melunasi bunganya. Begitu tingginya ketergantungan pemerintah terhadap hutang , sampai-sampai ini dijadikan sebagai sumber pemasukan kas negara (sungguh ironis sekali). Padahal jika kita berfikir lebih serius, sebenarnya hutang luar negeri yang selalu bertambah itu memunculkan persoalan baru dibidang pengelolaan sumber daya alam. Kerusakan hutan, polusi udara, dan kerusakan infrastruktur tanah akibat eksploitasi ‘membabi-buta’ barang-barang tambang terjadi dari Sabang sampai Merauke demi mendapatkan selembar uang untuk mencicil utang serta untuk memenuhi permintaan dari pihak yang memberikan “pinjaman utang”. Sementara rakyat yang nota bene adalah tuan rumah, hanya bisa mengelus dada dan bersabar atas tingkah polah para penguasa. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah ternyata tidak membawa berkah bagi rakyatnya. Dari sini dapatlah kita mengerti mengapa negeri sekaya Indonesia, sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan. Laksana ayam yang mati di atas pendaringan beras.

Terkait dengan kepemilikan umum di Indonesia, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber kepemilikan umum seperti tambang (batubara, emas, tembaga dll), hutan, minyak, gas bumi dan lain sebagainya. Walaupun dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam tersebut dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi, tetaplah individu atau perusahaan swasta yang diberi hak oleh Sang Penguasa Sebagai contoh, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya kini diperkirakan mencapai 7 - 8 milyar US dolar. Dari hasil sebesar itu, yang masuk kedalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong penguasa HPH.

Pengelolaan hutan dengan sistem ini (HPH) sebenarnya sangat merugikan rakyat. Konsep yang sebenarnya sudah dianggap salah (usang) oleh Belanda ini malah di adopsi oleh penguasa Indonesia. Mungkin karena pemerintah sangat membutuhkan uang untuk membiayai pembangunan dan membayar utang-utangnya, lebih dari setengah dari luas hutan Indonesia (144 juta ha) dilelang begitu saja kepada para pengusaha rakus ditambah lagi dengan keluarnya PP no 2 tahun 2008 yang sangat tidak berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini di sebabkan karena tarif yang dikenakan untuk kawasan hutan yang dijadikan wilayah pertambangan sangat murah bahkan lebih murah dari bakwan, jalangkote , dan gorengan yang dijual mace-mace (pertambangan horizontal;hutan lindung 3 juta/ha/tahun, hutan produksi 2,4 juta/ha/tahun ) sungguh sangat ironis.

Taman Sylva, 22 April 2008

Ketua sylva Indonesia (PC.) Unhas

Tidak ada komentar: